Kamis, April 21, 2016

[Translate] Ningen Shikkaku - Catatan Pertama

Terima kasih kepada teman-teman yang masih mau menyempatkan dirinya untuk datang ke blog saya ini. Mungkin sudah beberapa bulan ini saya tidak memposting di blog ini karena saya mengalami banyak hal di real life, membantu terjemahan subtitle drama di Animakosia.net, dan juga untuk blog ini saya benar-benar memfokuskan tenaga saya pada penerjemahan novel besar karya Dazai Osamu ini. Bisa jadi akan terdapat banyak kekurangan pada terjemahan ini karena jujur, penggunaan bahasa yang digunakan pada versi bahasa Inggris yang ditulis oleh Donald Keene menggunakan istilah-istilah sastra Inggris yang sedikit banyak tidak pernah digunakan kembali di masa sekarang. Akan tetapi, setidaknya saya berharap kalau terjemahan ini bisa membuat teman-teman bisa setidaknya bisa memahami apa yang ingin Dazai sampaikan karena buku ini penuh dengan suasana gelap, dan manusia yang teralienasi akan sesamanya. Semoga kedepannya bisa lebih cepat untuk mengerjakannya.


Tanpa panjang lebar lagi, silahkan dinikmati terjemahan "Catatan Pertama" dari Ningen Shikkaku.

***

CATATAN PERTAMA

Ilustrasi gambar: Film "The Fallen Angel/No Longer Human" adaptasi dari novel "Ningen Shikkaku".
Copyrighted: Kadokawa Pictures


            Hidupku adalah hidup yang memalukan.

Aku bahkan tidak bisa membayangkan seperti bagaimana cara untuk hidup sebagai manusia. Aku lahir di sebuah desa di daerah Timur Laut, bahkan aku harus menunggu hingga usiaku mulai dewasa untuk pertama kali melihat kereta api. Aku menaiki dan menuruni jembatan stasiun, dengan sedikit tidak tersadar kalau fungsi dari jembatan itu sebagai jalur penyebrang rel bagi penumpang untuk pergi ke peron di seberangnya. Aku yakin kalau jembatan itu sudah diberikan sentuhan eksotis untuk memberikan kesan nyaman pada stasiun, seperti tempat bermain di luar negeri. Aku tenggelam di dalam delusi ini selama beberapa lama, dan tentu saja ini merupakan sebuah hiburan tersendiri untuk menaiki dan menuruni jembatan itu.

Kukira itu adalah salah satu pelayanan terbaik yang disediakan kereta api. Hingga kemudian aku mengetahui kalau jembatan itu tak lebih dari sekedar alat untuk memenuhi nilai guna, aku kehilangan semua ketertarikanku kepadanya.

Kemudian, ketika aku masih kecil, aku melihat sebuah foto dari kereta bawah tanah di sebuah buku bergambar, tidak pernah terbayang olehku kalau mereka diciptakan untuk memenuhi nilai guna; aku berpikir kalau berkendara di bawah tanah hanya bisa terjadi dalam buku dan pastinya adalah sesuatu yang menyenangkan.

Aku seringkali sakit-sakitan bahkan semenjak aku kecil dan seringkali diperintahkan untuk beristirahat di kasur. Dengan seringnya aku berbaring di atasnya membuatku berpikir betapa tidak kreatifnya desain seprei dan sarung bantal yang kutiduri. Ketika usiaku menginjak angka 20 barulah aku sadar bahwa mereka hanya ada untuk mengisi nilai guna, dan pencerahan atas kebodohan manusia inilah yang membuat kondisi depresi tercampur aduk di dalam diriku.

Ditambah, aku tidak pernah mengetahui apa rasanya kelaparan. Ini bukan karena aku yang dibesarkan di keluarga kaya - aku tidak memiliki pikiran yang dangkal seperti itu. Yang kumaksud disini adalah aku tidak punya anggapan dasar mengenai apa "rasa lapar" itu. Memang terdengar aneh untuk dibicarakan, tapi aku tidak pernah merasa kalau perutku kosong. Ketika aku masih kecil dan pulang dari sekolah, orang-orang di rumah selalu saja membuat kehebohan untukku. "Kau pasti lapar. Kami mengingat bagaimana rasanya ketika kami lapar setelah pulang sekolah. Mau makan permen? Ada kue dan biskuit juga." Berusaha untuk menyenangkan mereka, seperti yang biasa kulakukan, aku selalu saja bergumam kalau aku lapar, dan memasukkan banyak sekali permen ke dalam mulutku, tapi apa yang mereka maksudkan dengan "lapar" tidak kumengerti sama sekali.

Tentu saja, aku selalu memakan sesuatu yang sama dengan jumlah yang besar, tapi aku hampir tidak ingat kalau aku memulai makan dari kondisi kelaparan. Hal-hal yang tidak biasa atau mahal menggodaku, dan ketika aku pergi ke rumah orang lain aku memakan hampir semua yang ada di depanku, meskipun dengan usaha apapun yang harus aku curahkan. Bagian tersakit bagiku sebagai seorang anak tentu saja ketika waktunya makan, terutama di rumahku sendiri.

Di rumahku yang terletak di pedesaan, seluruh anggota keluarga -- sekitar 10 orang -- makan bersama, berposisi dalam dua garis yang saling berhadapan. Menjadi anak yang paling muda aku biasanya duduk di pojok. Ruang makan di rumah itu gelap, pemandangan dari 10 orang atau lebih ketika memakan makan siang mereka, atau entah waktu makannya, memunculkan rasa sunyi yang suram dan mampu membuatku merasa merinding. Selain itu, rumah itu adalah rumah bernuansa tua dengan masakan yang sudah ditentukan, dan tidak ada gunanya untuk berharap ada makanan yang tidak biasa ataupun mewah. Aku merasa ketakutan dengan waktu makan setiap harinya. Aku bisa duduk disana pada pojok meja di ruangan remang-remang, dan merasa ketakutan seperti yang kusebutkan sebelumnya, aku bisa mengangkat beberapa potong makanan dan memaksanya masuk ke dalam mulutku. "Kenapa manusia bisa memakan makanan tiga kali sehari? Betapa luar biasa serius wajah yang mereka buat sembari memakan makanan mereka! Nampaknya ini sudah menjadi sebuah ritual. Tiga kali sehari di jam yang sudah ditentukan, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruangan yang suram ini. Tempat ini sudah tertata dengan rapi, kemudian dengan atau tidaknya kita merasa lapar, kita tetap mengunyah makanan dalam kesunyian, dengan mata yang menunduk. Siapa yang tahu? Itu mungkin adalah semacam doa untuk mengambil hati roh-roh yang berkeliaran di sekeliling rumah..." Ketika itu aku menjadi keterlaluan dengan berpikir seperti itu.

"Makan atau mati?" Itulah yang pepatah katakan, tapi bagiku hal itu terdengar seperti sebuah ancaman yang tidak menyenangkan. Namun, takhayul ini (aku hanya bisa menganggapnya sebagai takhayul) selalu memicu perasaan ragu dan takut dalam diriku. Tidak hal yang sulit bagiku untuk kumengerti, sangat mengherankan, dan di saat yang bersamaan penuh dengan nada-nada tinggi yang mengancam, "Manusia bekerja untuk mencari segenggam roti, jika mereka tidak makan, maka mereka akan mati."

Dengan kata lain, kau mungkin bisa mengatakan kalau aku belum memiliki pemahaman bagaimana menjadi seorang manusia. Proses pemahamanku dalam pencarian konsep kebahagiaanku nampaknya jelas sekali berbeda dengan orang lain yang sangat luar biasa sehingga membuatku tidak bisa tidur dan merintih setiap malam di kasurku. Tentu saja konsep mereka bisa membuatku berada di ambang kegilaan. Kukira, apa aku benar-benar pernah merasa bahagia? Orang-orang pernah mengatakan padaku, mungkin lebih banyak dari yang pernah kuingat, bahkan ketika aku masih kecil, "betapa beruntungnya aku", tapi aku selalu merasa seperti tersiksa di neraka. Nampaknya, bagiku orang yang menyebutku beruntung sesungguhnya adalah orang yang lebih beruntung dariku.

Terkadang aku menganggap kalau aku sudah dikutuk oleh satu paket berisi 10 kesialan, yang jika salah satunya menimpa orang di sekitarku sudah cukup untuk membuat mereka mati karenanya.

Mudahnya, aku tidak mengerti. aku tidak punya pandangan sedikitpun seperti apa kebiasaan atau tingkatan kesengsaraan orang-orang di sekitarku. Masalah-masalah yang praktis, kesedihan yang bisa diredakan jika ada sesuatu yang bisa dimakan -- hal ini mungkin saja bisa menjadi neraka yang amat sangat panas, cukup buruk untuk bisa meledakan hingga berkeping-keping 10 kesialanku, tapi itulah yang membuatku tidak mengerti: jika orang di sektiarku bisa bertahan tanpa membunuh dirinya sendiri, tanpa menjadi gila, memiliki ketertarikan di partai politik, tidak terjerumus keputusasaan, bertarung mengejar keberadaan diri, bisakah kesedihan mereka menjadi sesuatu yang sejati? Salahkah aku jika aku berpikir kalau orang-orang ini sudah sepenuhnya menjadi egois dan sangat yakin dengan keadaan normal dari kehidupan mereka yang sama sekali tidak pernah mereka ragukan? Jika memang seperti itu, penderitaan mereka seharusnya mudah untuk didengar: mereka adalah sebagian besar dari seluruh umat manusia dan mungkin adalah yang paling bisa untuk diharapkan. Aku tidak tahu... Jika kau mendengkur ketika tidur di malam hari, paginya akan menjadi sesuatu yang menggembirakan, aku kira begitu. Kira-kira, mimpi seperti apakah yang mereka rasakan? Apa. Apakah mereka memimpikan ketika mereka berjalan di sebuah jalan? Uang? Sulit sekali -- bisa saja tidak hanya itu. Nampaknya aku pernah mendengar teori bahwa manusia hidup untuk memenuhi hasratnya akan makan, tapi aku tidak pernah mendengar kalau mereka hidup untuk mendapatkan uang. Tidak. Dan juga, dalam beberapa contoh... Tidak, aku tidak mengetahuinya... Semakin lama aku memikirkannya, semakin aku tidak mengerti. Aku hanya bisa rasakan serangan rasa cemas dan teror karena anggapan kalau hanyalah aku satu-satunya yang sangat berbeda dengan yang lain. Hampir tidak mungkin bagiku untuk berbicara dengan orang lain. Apa yang akan kukatakan? Bagaimana aku mengatakannya? -- Aku tidak tahu.

Inilah kenapa aku mulai membuat diriku menjadi seorang badut.

Ini adalah tugas terakhirku untuk cinta yang kuarahkan kepada manusia. Meskipun aku memiliki ketakutan yang tidak terjelaskan kepada manusia, aku tidak bisa terlepas dari susunan kemasyarakatannya. Aku mengusahakan untuk tunjukan senyuman yang tidak pernah terlepas dari bibirku; ini adalah akomodasi yang kuberikan kepada orang lain, sebuah pencapaian sulit yang kulakukan dengan bayaran usaha yang mengerikan didalamnya.

Sebagai seorang anak kecil, aku sama sekali tidak mengerti pemahaman mengenai orang lain, atau bahkan anggota keluargaku sendiri, apa mereka mungkin saja menderita atau apa yang mereka pikirkan. Aku hanya sadar akan rasa takut dan malu atas diriku sendiri yang tidak dapat dijelaskan. Tanpa siapapun menyadarinya, aku sudah menjadi seorang badut, seorang anak yang tidak pernah sekalipun berbicara sebuah kata yang jujur.

Aku menyadari kalau di dalam foto dimana aku berada bersama keluargaku, ketika mereka memunculkan wajah yang serius; hanya aku yang mengerutkan wajahku, membuat sebuah senyum yang aneh. Ini adalah satu dari banyak kejenakaanku yang kekanak-kanakan dan menyedihkan.

Lagi, aku tidak pernah sekalipun menjawab apapun yang dikatakan keluargaku kepadaku. Teguran sedikit saja bisa menamparku seperti dengan kekuatan sebuah petir dan bisa membuatku terlempar dari kepalaku sendiri. Jawab! Aku merasa yakin bahwa teguran mereka tanpa suara yang ragu dari manusia yang memiliki kebenaran berbicara padaku dari masa lalu yang abadi; aku terobsesi dengan pemikiran tersebut dikarenakan aku yang memiliki kekurangan untuk berperilaku yang sesuai dengan kebenaran tersebut, aku mungkin saja sudah tidak pantas hidup bersama manusia. Keyakinanku ini membuatku tidak mampu berargumen atau melakukan pembelaan diri. Ketika ada orang yang mengkritikku aku merasa yakin kalau aku sudah hidup dibawah kesalapahaman yang mengerikan. Aku selalu menerima serangan dalam diam, meskipun di dalam hati aku merasa ketakutan.

Nampaknya benar, jika tidak ada orang yang merasa senang untuk dikritik atau diteriaki, tapi aku melihat wajah manusia yang memarahiku, seekor binatang buas dengan aslinya, lebih buruk dari singa, buaya atau naga sekalipun. Orang-orang biasanya menyembunyikan hal ini, tapi akan ada satu kesempatan (seperti seekor lembu yang dengan tenang berlindung di padang rumput tiba-tiba keluar dengan buntutnya berusaha membunuh pikat yang ada disebelahnya) ketika kemarahan membuat mereka menunjukkannya di dalam daging manusia di dalam perasaan menakutkannya. Melihat ini terjadi selalu memaksaku masuk kedalam sebuah rasa takut yang cukup membuat bulu kudukku berdiri, dan dalam pikiran yang beranggapan bahwa ini adalah salah satu dari prasyarat untuk bertahan hidup sebagai manusia, aku sudah merasa dekat untuk membuat diriku sendiri merasa putus asa.

Aku selalu merasa takut kepada manusia. Aku tidak bisa merasakan kepercayadirian terhadap diriku untuk berbicara dan berperilaku seperti manusia, aku menjaga perasaan penderitaan akan kesendirianku di dalam dada. Aku menjaga perasaan melankolis dan pergolakanku tetap tersembunyi, berhati-hati jangan sampai setitikpun perasaan tersebut terlihat. Aku melakoni sebuah optimisme yang terlihat murni; perlahan aku menyempurnakan diriku sendiri di dalam lakon sebagai seorang eksentrik yang lucu.

Aku berpikir, “Selama aku bisa membuat mereka tertawa, tidak peduli bagaimanapun, aku tidak apa-apa. Jika aku berhasil dalam hal itu, manusia tidak akan berpikir panjang jika aku aku tetap berada di luar kehidupan mereka. Satu hal yang harus kuhindari adalah menjadi pengganggu di mata mereka: aku harus tidak menjadi siapa-siapa, menjadi angin, menjadi langit.” Aktifitasku sebagai badut, sebuah peran yang hadir dari rasa putus asa, juga melebar hingga ke para pelayan, yang lebih aku takuti dibanding keluargaku sendiri karena aku melihat mereka sebagai sesuatu yang tidak mudah dipahami.

Pada musim panas, aku membuat semua orang tertawa dengan berjalan lambat di dalam rumah menggunakan sweater wol berwarna merah yang dilapisi kimono katunku. Bahkan kakak laki-lakiku yang jarang tertawa, tertawa terbahak-bahak dan mengomentari dengan nada penuh rasa kasih sayang yang tidak dapat ditoleransi, “Pakaian itu sangat tidak cocok untukmu, Yozo.” Tapi, dari semua kebodohanku aku tidak begitu tak sadar akan rasa dingin dan panas dengan berjalan menggunakan sweater wol di teriknya musim panas. Aku gunakan leging panjang adik perempuanku pada lenganku, dan membiarkannya terlihat seperti aku menggunakan sebuah sweater.

Ayahku terkadang memiliki urusan di Tokyo dan membeli rumah di sana untuk mempermudah urusannya. Dia habiskan waktu sekitar dua atau tiga minggu dalam sebulan di kota, selalu pulang penuh dengan kuantitas kehadiran yang luar biasa mengejutkan, tidak hanya bagi anggota keluarga, bahkan untuk orang-orang terdekat. Itu seperti hobi untuknya. Sekali waktu, di malam sebelum ia berangkat ke Tokyo, dia memanggil semua anaknya di ruang keluarga dan dengan tersemyum bertanya pada kami hadiah apa yang kami inginkan kali ini, dengan berhati-hati mencatat semua permintaan anaknya di dalam sebuah buku catatan kecil. Sangat tidak biasa bagi Ayah untuk berlaku sangat penuh kasih sayang kepada anak-anaknya.

“Bagaimana denganmu, Yozo?” dia bertanya, tapi aku hanya tergagap tidak yakin.

Kapanpun aku ditanya, ingin sekali aku bisa menjawab semuanya dengan cepat “Tidak ada.” Pemikiran yang masuk melalui kepalaku bahwa itu tidak akan memberikan perubahan apapun, bahwa tidak ada akan membuatku merasa senang. Di saat yang sama aku yang sedari awal tidak bisa menolak penawaran apapun dari orang lain, tidak peduli sekecil apapun aku menyukainya. Ketika aku membenci sesuatu, aku tidak bisa mengatakan “Aku tidak menyukainya.” Ketika aku menyukai sesuatu aku menunjukan perasaan tidak yakin, dan menutupinya layaknya memakan sesuatu yang sangat pahit. Aku dipenuhi rasa takut yang tidak bisa dijelaskan. Dengan kata lain, aku tidak memiliki kekuatan untuk memilih atas dua pilihan. Dengan ini, aku percaya, karakter ini yang dalam beberapa tahun kedepan akan berkembang menjadi sebab utama dari “kehidupan yang memalukan” ini.

Aku tetap terdiam, bergerak-gerak kecil karena gugup. Ayahku kehilangan sedikit rasa humornya.

“Apa kau mau buku? Atau bagaimana dengan topeng singa tahun baru? Sekarang mereka menjualnya untuk ukuran anak-anak. Bukankah kau mau?”

Kata-kata keras seperti “apakah kau mau?” membuatku sulit untuk menjawabnya. Aku bahkan tidak bisa menjawab dengan jawaban badutku. Lakon pelawakku jelas-jelas gagal.

“Sebuah buku sepertinya pilihan terbaik, kukira,” saudaraku berkata dengan serius.

“Oh?” Rasa bahagia mengering dari wajah ayahku. Dia menutup buku catatannya tanpa mencatat apapun.

Dasar pecundang. Sekarang, aku telah membuat ayahku marah dan aku yakin pembalasannya akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Malam itu dengan diriku yang berbaring gemetaran di atas kasur, aku mencoba berpikir bagaimana cara merubah semua situasi itu. Aku merangkak dari kasurku, berjalan dengan perlahan melalui ruang tamu, dan membuka laci meja dimana ayahku biasa menyimpan buku catatannya. Aku temukan bukunya dan mengambilnya. Kubuka lembaran-lembarannya hingga sampai pada halaman dimana ia menuliskan daftar keinginan untuk hadiahnya. Kujilati pensil dan menuliskan dengan huruf kapital “TOPENG SINGA”. Usai melakukannya, aku kembali ke kasurku. Aku tidak begitu ingin topeng singa. Malah, aku lebih memilih buku untuk hadiahku. Tapi, tentu saja kalau ayahku ingin membelikanku sebuah topeng, dan merupakan keinginan luar biasaku untuk mengabulkan keinginannya dan mengembalikan rasa humornya yang membuatku membulatkan tekad untuk menyelinap ke ruang tamu di tengah malam gelap.

Keputusan yang penuh keputusasaanku ini berbuah kesuksesan besar yang kuharapkan. Ketika beberapa hari setelahnya, ayahku kembali dari Tokyo dan mendengarnya berbicara kepada ibuku dengan suaranya yang lantang – aku sedang berada di ruang anak-anaknya ketika itu – “Menurutmu, apa yang kutemukan ketika aku membuka buku catatanku di toko mainan? Lihatlah, seseorang menuliskan ‘topeng singa’ di sini. Ini bukan tulisan tanganku. Untuk sesaat, aku tidak bisa menebak siapa yang menulisnya, kemudian aku menyadarinya. Ini adalah salah satu dari kejahilan Yozo. Kau tahu, aku bertanya padanya apa yang ia inginkan dari Tokyo, tapi dia hanya terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, dengan rasa inginnya akan topeng singa yang amat kuat membuatnya tidak tahan lagi. Dia memang anak yang lucu. Berpura-pura tidak tahu apa yang ia inginkan dan kemudian menuliskannya. Jika dia memang menginginkan topeng  yang seharusnya ia lakukan adalah berbicara padaku. Aku tertawa terbahak-bahak di depan semua orang yang ada di toko mainan. Suruh dia kemari.”

Di kesempatan lain, aku berkumpul bersama semua pelayan di sebuah ruangan yang bergaya asing. Salah satu pelayan menekan tuts piano secara acak (rumah kami berisi barang bagus dengan banyak fasilitas meskipun kami tinggal di desa), dan aku membuat semua orang tertawa keras dengan jingkrak-jingkrakan tarian Indianku bersamaan dengan suara piano itu. Saudaraku mengambil fotoku yang sedang menari. Ketika fotonya sudah jadi kau bisa lihat kemaluanku melalui dua saputangan yang terbuka yang kujadikan penutupnya, dan ini juga yang menyebabkan kegembiraan. Hal ini mungkin bisa dihitung sebagai sebuah kemenangan yang melebihi ekspektasiku.

Dahulu, aku berlangganan selusin atau lebih majalah anak-anak, dan untuk buku bacaan pribadiku dari Tokyo. Aku menjadi mahir dalam menggunakan karakter Dr. Kosongomong dan Dr. Mahatahu (Bahasa Inggris: Dr. Nonsentius dan Dr. Knowitall), dan semakin dekat dengan kebiasaan cerita seram, kisah petualangan, kumpulan lelucon, lagu dan sebagainya. Aku tidak pernah kehabisan materi cerita aneh yang dengan sungguh-sungguh kurangkai untuk membuat anggota keluargaku tertawa.

Tapi bagaimana dengan sekolahku?

Aku baik-baik saja dalam proses mendapatkan rasa hormat. Tapi ide dari menjadi dihormati membuatku sangat terintimidasi ketika itu. Definisiku akan orang yang “dihormati” adalah orang yang hampir sepenuhnya sukses dalam memperdaya orang lain, tapi yang akhirnya bisa terlihat oleh orang yang tahu segalanya, orang yang bisa melakukan segalanya yang menggagalkannya dan membuatnya menderita rasa malu yang lebih parah dari kematian. Meski aku merasa menipu hampir semua umat manusia hingga bisa menghormatiku, satu dari mereka bisa mengetahui apa yang sebenarnya, dan cepat atau lambat manusia lainnya akan belajar darinya. Bagaimana ia marah dan dendam kepada orang-orang yang sadar kalau mereka telah tertipu! Itu adalah perkataan yang bisa mengerutkan kening.

Aku tidak mendapatkan reputasiku di sekolah karena aku anak dari keluarga kaya, tapi karena caraku yang menunjukkan diriku secara vulgar, aku memiliki “otak”. Menjadi seorang anak yang sakit-sakitan, terkadang aku tidak masuk sekolah hingga satu atau dua bulan jika dijumlahkan dalam setahun. Meskipun begitu, ketika aku kembali ke sekolah, masih baru saja sembuh di dalam kendaraan, dan melakukan ujian di akhir tahun, aku selalu berada di ranking tertinggi, terima kasih kepada “otakku”. Aku tidak pernah belajar, walaupun ketika aku sedang sehat. Ketika kelas menulis puisi aku justru menggambar kartun dan ketika waktu istirahat setelahnya aku membuat siswa lain di kelas tertawa dengan penjelasanku akan gambarku. Ketika kelas musik, aku tidak menuliskan hal lain selain cerita humor. Guruku melarang, tapi itu tidak membuatku berhenti, aku tahu sebenarnya ia diam-diam menyukai ceritaku. Suatu hari, aku mengumpulkan cerita yang kutulis dengan suasana sedih menceritakan ketika aku dijemput ibuku menggunakan kereta ke Tokyo, aku sudah membuat air di dalam tempat meludah di koridor (bahasa Inggris: I had made water in a spittoon in the corridor). (Tapi ketika itu aku tidak begitu bodoh menyadari kalau itu adalah tempat meludah; aku sudah merencanakan kesalahanku, berpura-pura menjadi anak bodoh.) Aku sangat yakin kalau guru itu akan tertawa dan aku mengikutinya yang masuk ke ruang guru. Tepat setelah ia keluar kelas, guru itu mengeluarkan kertasku dari kumpulan tulisan kelas. Dia mulai membacanya bersamaan dengannya yang berjalan melalui koridor, dan tertawa pelan karenanya. Ia masuk ke ruang guru dan dalam waktu semenit atau sekitarnya – apa dia sudah menyelesaikannya? – ia tertawa terbahak-bahak, wajahnya memerah karena tertawaannya. Aku melihatnya memberikan kertasku kepada guru lainnya. Aku merasa puas akan diriku sendiri.

Seorang anak bandel yang jahil.

Aku sudah berhasil melakukan kejahilan. Aku sudah berhasil kabur dari perasaan dihormati. Di raporku semuanya bernilai A kecuali nilai kelakuanku, yang tidak pernah lebih bagus dari C atau D. Hal ini juga menjadi hiburan tersendiri bagi keluargaku.

Namun, di dalam diriku yang sebenarnya, sangat berbeda jauh dengan peranku sebagai anak bandel yang jahil. Ketika itu aku sudah diajarkan hal-hal yang sangat mengecewakan oleh para pelayan; aku sudah terkotori. Sekarang, aku berpikir kalau melakukan hal buruk seperti itu kepada anak kecil adalah kejahatan terjelek, terburuk dan terjahat yang bisa seorang manusia bisa lakukan. Tapi aku menahannya. Aku bahkan merasakannya sebagai hal yang bisa membuatku untuk melihat satu aspek partikular dari manusia. Aku tersenyum dalam kelemahanku. Jika aku sudah membentuk kebiasaan untuk mengatakan hal sejujurnya aku mungkin saja bisa untuk menceritakannya tanpa rasa malu kepada ayahku atau ibuku mengenai hal ini, tapi aku tidak bisa sepenuhnya mengerti meskipun mereka berdua orang tuaku sendiri. Untuk meminta pertolongan kepada setiap umat manusia – aku bisa tidak berharap apapun untuk tindakan itu. Mengira aku mengeluh kepada ayahku atau ibuku, atau kepada polisi, pemerintah – aku berpikir jika pada akhirnya aku tidak bisa berdebat dalam keheningan oleh seseorang dalam rahmat baik dengan dunia, dengan alasan yang dunia setujui.

Itu terlihat terlalu jelas bahwa keberpihakkan itu pasti ada: dan akan menjadi sia-sia untuk mengeluh pada manusia. Jadi, aku tidak mengatakan apapun mengenai kebenarannya. Aku merasa aku tidak punya pilihan lain selain menahan apapun yang ada di depanku dan berlakon sebagai badut.

Beberapa orang mungkin akan mencemoohku. “Apa maksudnya tidak mempercayai manusia? Kapan kau menjadi seorang Nasrani?” Aku gagal untuk melihat bahwa ketidakpercayaan pada manusia harus selalu mengarah pada agama. Apakah tidak benar, alih-alih, bahwa manusia, termasuk mereka yang mencemoohku, hidup dalam rasa saling tidak percaya, dan tidak memikirkan Tuhan ataupun yang lainnya?

Ada satu hal yang terjadi ketika aku masih kecil. Seorang tokoh terkenal dari partai politik dimana ayahku menjadi anggotanya datang untuk menyampaikan pidatonya di kota kami, dan aku diantarkan pelayanku datang dan menyaksikannya. Tempat itu penuh sesak. Semua orang di kota terutama yang dekat dengan ayahku datang dan dengan antusias bertepuk tangan. Ketika pidato itu berakhir, orang-orang yang hadir berjalan keluar dengan berkelompok yang berisi tiga dan lima orang dan menuju malam. Saat mereka pulang ke rumah di jalan-jalan yang ditutupi salju mereka dengan pedasnya mengomentari pertemuan tersebut. Aku bisa bedakan antara orang-orang yang dekat dengan ayahku mengeluh dengan nada yang terdengar seperti amarah mengenai bagaimana tidak kompetennya sambutan pembuka ayahku, dan bagaimana sulitnya memahami apa yang tokoh terkenal itu sampaikan. Kemudian, orang-orang ini kemudian datang ke rumahku, masuk ke ruang tamu kami, dan mengatakan kepada ayahku dengan ekspresi bahagia yang terlihat alami di wajah mereka bahwa acara tersebut merupakan acara yang sukses. Bahkan para pelayan pun, ketika ditanya oleh ibuku mengenai acara itu, menjawab seolah-olah dengan spontan, bahwa acara itu menarik. Mereka adalah pelayan-pelayan yang sama dengan pelayan yang dengan pahitnya mengeluh dalam perjalanan pulangnya dan mengatakan bahwa petemuan politik semacam itu adalah hal yang paling membosankan di dunia.

Ini, bagaimanapun, hanyalah contoh kecil. Aku yakin bahwa kehidupan manusia dipenuhi dengan banyak contoh ketidaktulusan yang murni, bahagia dan tenang, betapa hebatnya dari spesies mereka – dari menipu satu dengan lainnya (yang cukup aneh) tanpa mengakibatkan luka, dari orang-orang yang bahkan tampaknya tidak menyadari bahwa mereka saling menipu satu sama lain. Tapi, aku tidak punya minat khusus akan kasus saling menipu. Aku sendiri menghabiskan waktu sepanjang hari menipu manusia dengan leluconku. Aku tidak bisa memberikan perhatian atas moralitas yang ditentukan dalam buku-buku pelajaran Etika dibawah nama “Kebenaran”. Aku sulit memahami manusia yang hidup, atau yang yakin ia bisa hidup, secara murni, bahagia dan tenang ketika terlibat dalam penipuan. Manusia tidak pernah mengajarkanku rahasia yang sulit dimengerti seperti itu. Jika aku hanya mengetahui satu hal bahwa saya tidak harus merasa takut kepada manusia, atau aku tidak harus berada di posisi yang berbeda dengan kehidupan manusia, juga merasakan siksaan seperti di neraka setiap malamnya. Singkatnya, aku percaya bahwa alasan mengapa aku tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai kejahatan yang menjijikkan yang dilakukan para pelayan kepadaku bukan karena ketidakpercayaanku kepada manusia, juga bukan karena kepercayaanku kepada agama Kristen, tapi karena manusia yang ada di sekelilingku menyegelku dengan kuat dari dunia kepercayaan dan ketidakpercayaan. Bahkan orang tuaku pun sendiri menunjukkan sikap yang sulit bagiku untuk memahaminya.

Aku juga memiliki kesan bahwa banyak perempuan bisa, secara naluriah, untuk mencium rasa kesepian ini dari diriku, yang tidak kuceritakan kepada siapapun, dan inilah yang membuatku seringkali diperdaya di beberapa tahun kemudian.

Perempuan melihatku sebagai seorang laki-laki yang bisa menjaga rahasia cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar