Terima kasih kepada teman-teman yang masih mau menyempatkan dirinya untuk datang ke blog saya ini. Mungkin sudah beberapa bulan ini saya tidak memposting di blog ini karena saya mengalami banyak hal di real life, membantu terjemahan subtitle drama di Animakosia.net, dan juga untuk blog ini saya benar-benar memfokuskan tenaga saya pada penerjemahan novel besar karya Dazai Osamu ini. Bisa jadi akan terdapat banyak kekurangan pada terjemahan ini karena jujur, penggunaan bahasa yang digunakan pada versi bahasa Inggris yang ditulis oleh Donald Keene menggunakan istilah-istilah sastra Inggris yang sedikit banyak tidak pernah digunakan kembali di masa sekarang. Akan tetapi, setidaknya saya berharap kalau terjemahan ini bisa membuat teman-teman bisa setidaknya bisa memahami apa yang ingin Dazai sampaikan karena buku ini penuh dengan suasana gelap, dan manusia yang teralienasi akan sesamanya. Semoga kedepannya bisa lebih cepat untuk mengerjakannya.
Tanpa panjang lebar lagi, silahkan dinikmati terjemahan "Catatan Pertama" dari Ningen Shikkaku.
***
CATATAN
PERTAMA
Ilustrasi gambar: Film "The Fallen Angel/No Longer Human" adaptasi dari novel "Ningen Shikkaku". Copyrighted: Kadokawa Pictures |
Hidupku adalah
hidup yang memalukan.
Aku
bahkan tidak bisa membayangkan seperti bagaimana cara untuk hidup sebagai
manusia. Aku lahir di sebuah desa di daerah Timur Laut, bahkan aku harus
menunggu hingga usiaku mulai dewasa untuk pertama kali melihat kereta api. Aku
menaiki dan menuruni jembatan stasiun, dengan sedikit tidak tersadar kalau
fungsi dari jembatan itu sebagai jalur penyebrang rel bagi penumpang untuk
pergi ke peron di seberangnya. Aku yakin kalau jembatan itu sudah diberikan
sentuhan eksotis untuk memberikan kesan nyaman pada stasiun, seperti tempat
bermain di luar negeri. Aku tenggelam di dalam delusi ini selama beberapa lama,
dan tentu saja ini merupakan sebuah hiburan tersendiri untuk menaiki dan
menuruni jembatan itu.
Kukira
itu adalah salah satu pelayanan terbaik yang disediakan kereta api. Hingga
kemudian aku mengetahui kalau jembatan itu tak lebih dari sekedar alat untuk memenuhi
nilai guna, aku kehilangan semua ketertarikanku kepadanya.
Kemudian,
ketika aku masih kecil, aku melihat sebuah foto dari kereta bawah tanah di
sebuah buku bergambar, tidak pernah terbayang olehku kalau mereka diciptakan
untuk memenuhi nilai guna; aku berpikir kalau berkendara di bawah tanah hanya
bisa terjadi dalam buku dan pastinya adalah sesuatu yang menyenangkan.
Aku
seringkali sakit-sakitan bahkan semenjak aku kecil dan seringkali diperintahkan
untuk beristirahat di kasur. Dengan seringnya aku berbaring di atasnya
membuatku berpikir betapa tidak kreatifnya desain seprei dan sarung bantal yang
kutiduri. Ketika usiaku menginjak angka 20 barulah aku sadar bahwa mereka hanya
ada untuk mengisi nilai guna, dan pencerahan atas kebodohan manusia inilah yang
membuat kondisi depresi tercampur aduk di dalam diriku.
Ditambah,
aku tidak pernah mengetahui apa rasanya kelaparan. Ini bukan karena aku yang
dibesarkan di keluarga kaya - aku tidak memiliki pikiran yang dangkal seperti
itu. Yang kumaksud disini adalah aku tidak punya anggapan dasar mengenai apa
"rasa lapar" itu. Memang terdengar aneh untuk dibicarakan, tapi aku
tidak pernah merasa kalau perutku kosong. Ketika aku masih kecil dan pulang
dari sekolah, orang-orang di rumah selalu saja membuat kehebohan untukku.
"Kau pasti lapar. Kami mengingat bagaimana rasanya ketika kami lapar
setelah pulang sekolah. Mau makan permen? Ada kue dan biskuit juga."
Berusaha untuk menyenangkan mereka, seperti yang biasa kulakukan, aku selalu
saja bergumam kalau aku lapar, dan memasukkan banyak sekali permen ke dalam
mulutku, tapi apa yang mereka maksudkan dengan "lapar" tidak
kumengerti sama sekali.
Tentu
saja, aku selalu memakan sesuatu yang sama dengan jumlah yang besar, tapi aku
hampir tidak ingat kalau aku memulai makan dari kondisi kelaparan. Hal-hal yang
tidak biasa atau mahal menggodaku, dan ketika aku pergi ke rumah orang lain aku
memakan hampir semua yang ada di depanku, meskipun dengan usaha apapun yang
harus aku curahkan. Bagian tersakit bagiku sebagai seorang anak tentu saja
ketika waktunya makan, terutama di rumahku sendiri.
Di
rumahku yang terletak di pedesaan, seluruh anggota keluarga -- sekitar 10 orang
-- makan bersama, berposisi dalam dua garis yang saling berhadapan. Menjadi
anak yang paling muda aku biasanya duduk di pojok. Ruang makan di rumah itu
gelap, pemandangan dari 10 orang atau lebih ketika memakan makan siang mereka,
atau entah waktu makannya, memunculkan rasa sunyi yang suram dan mampu
membuatku merasa merinding. Selain itu, rumah itu adalah rumah bernuansa tua
dengan masakan yang sudah ditentukan, dan tidak ada gunanya untuk berharap ada
makanan yang tidak biasa ataupun mewah. Aku merasa ketakutan dengan waktu makan
setiap harinya. Aku bisa duduk disana pada pojok meja di ruangan remang-remang,
dan merasa ketakutan seperti yang kusebutkan sebelumnya, aku bisa mengangkat
beberapa potong makanan dan memaksanya masuk ke dalam mulutku. "Kenapa
manusia bisa memakan makanan tiga kali sehari? Betapa luar biasa serius wajah
yang mereka buat sembari memakan makanan mereka! Nampaknya ini sudah menjadi
sebuah ritual. Tiga kali sehari di jam yang sudah ditentukan, seluruh anggota
keluarga berkumpul di ruangan yang suram ini. Tempat ini sudah tertata dengan
rapi, kemudian dengan atau tidaknya kita merasa lapar, kita tetap mengunyah
makanan dalam kesunyian, dengan mata yang menunduk. Siapa yang tahu? Itu
mungkin adalah semacam doa untuk mengambil hati roh-roh yang berkeliaran di
sekeliling rumah..." Ketika itu aku menjadi keterlaluan dengan berpikir seperti
itu.
"Makan
atau mati?" Itulah yang pepatah katakan, tapi bagiku hal itu terdengar
seperti sebuah ancaman yang tidak menyenangkan. Namun, takhayul ini (aku hanya
bisa menganggapnya sebagai takhayul) selalu memicu perasaan ragu dan takut
dalam diriku. Tidak hal yang sulit bagiku untuk kumengerti, sangat
mengherankan, dan di saat yang bersamaan penuh dengan nada-nada tinggi yang
mengancam, "Manusia bekerja untuk mencari segenggam roti, jika mereka
tidak makan, maka mereka akan mati."
Dengan
kata lain, kau mungkin bisa mengatakan kalau aku belum memiliki pemahaman
bagaimana menjadi seorang manusia. Proses pemahamanku dalam pencarian konsep
kebahagiaanku nampaknya jelas sekali berbeda dengan orang lain yang sangat luar
biasa sehingga membuatku tidak bisa tidur dan merintih setiap malam di kasurku.
Tentu saja konsep mereka bisa membuatku berada di ambang kegilaan. Kukira, apa
aku benar-benar pernah merasa bahagia? Orang-orang pernah mengatakan padaku,
mungkin lebih banyak dari yang pernah kuingat, bahkan ketika aku masih kecil,
"betapa beruntungnya aku", tapi aku selalu merasa seperti tersiksa di
neraka. Nampaknya, bagiku orang yang menyebutku beruntung sesungguhnya adalah
orang yang lebih beruntung dariku.
Terkadang
aku menganggap kalau aku sudah dikutuk oleh satu paket berisi 10 kesialan, yang
jika salah satunya menimpa orang di sekitarku sudah cukup untuk membuat mereka
mati karenanya.
Mudahnya,
aku tidak mengerti. aku tidak punya pandangan sedikitpun seperti apa kebiasaan
atau tingkatan kesengsaraan orang-orang di sekitarku. Masalah-masalah yang
praktis, kesedihan yang bisa diredakan jika ada sesuatu yang bisa dimakan --
hal ini mungkin saja bisa menjadi neraka yang amat sangat panas, cukup buruk
untuk bisa meledakan hingga berkeping-keping 10 kesialanku, tapi itulah yang
membuatku tidak mengerti: jika orang di sektiarku bisa bertahan tanpa membunuh
dirinya sendiri, tanpa menjadi gila, memiliki ketertarikan di partai politik,
tidak terjerumus keputusasaan, bertarung mengejar keberadaan diri, bisakah
kesedihan mereka menjadi sesuatu yang sejati? Salahkah aku jika aku berpikir
kalau orang-orang ini sudah sepenuhnya menjadi egois dan sangat yakin dengan
keadaan normal dari kehidupan mereka yang sama sekali tidak pernah mereka
ragukan? Jika memang seperti itu, penderitaan mereka seharusnya mudah untuk
didengar: mereka adalah sebagian besar dari seluruh umat manusia dan mungkin
adalah yang paling bisa untuk diharapkan. Aku tidak tahu... Jika kau mendengkur
ketika tidur di malam hari, paginya akan menjadi sesuatu yang menggembirakan,
aku kira begitu. Kira-kira, mimpi seperti apakah yang mereka rasakan? Apa.
Apakah mereka memimpikan ketika mereka berjalan di sebuah jalan? Uang? Sulit
sekali -- bisa saja tidak hanya itu. Nampaknya aku pernah mendengar teori bahwa
manusia hidup untuk memenuhi hasratnya akan makan, tapi aku tidak pernah
mendengar kalau mereka hidup untuk mendapatkan uang. Tidak. Dan juga, dalam
beberapa contoh... Tidak, aku tidak mengetahuinya... Semakin lama aku
memikirkannya, semakin aku tidak mengerti. Aku hanya bisa rasakan serangan rasa
cemas dan teror karena anggapan kalau hanyalah aku satu-satunya yang sangat
berbeda dengan yang lain. Hampir tidak mungkin bagiku untuk berbicara dengan
orang lain. Apa yang akan kukatakan? Bagaimana aku mengatakannya? -- Aku tidak
tahu.
Inilah
kenapa aku mulai membuat diriku menjadi seorang badut.
Ini
adalah tugas terakhirku untuk cinta yang kuarahkan kepada manusia. Meskipun aku
memiliki ketakutan yang tidak terjelaskan kepada manusia, aku tidak bisa
terlepas dari susunan kemasyarakatannya. Aku mengusahakan untuk tunjukan
senyuman yang tidak pernah terlepas dari bibirku; ini adalah akomodasi yang
kuberikan kepada orang lain, sebuah pencapaian sulit yang kulakukan dengan
bayaran usaha yang mengerikan didalamnya.
Sebagai
seorang anak kecil, aku sama sekali tidak mengerti pemahaman mengenai orang
lain, atau bahkan anggota keluargaku sendiri, apa mereka mungkin saja menderita
atau apa yang mereka pikirkan. Aku hanya sadar akan rasa takut dan malu atas
diriku sendiri yang tidak dapat dijelaskan. Tanpa siapapun menyadarinya, aku
sudah menjadi seorang badut, seorang anak yang tidak pernah sekalipun berbicara
sebuah kata yang jujur.
Aku
menyadari kalau di dalam foto dimana aku berada bersama keluargaku, ketika
mereka memunculkan wajah yang serius; hanya aku yang mengerutkan wajahku,
membuat sebuah senyum yang aneh. Ini adalah satu dari banyak kejenakaanku yang
kekanak-kanakan dan menyedihkan.
Lagi,
aku tidak pernah sekalipun menjawab apapun yang dikatakan keluargaku kepadaku.
Teguran sedikit saja bisa menamparku seperti dengan kekuatan sebuah petir dan
bisa membuatku terlempar dari kepalaku sendiri. Jawab! Aku merasa yakin bahwa
teguran mereka tanpa suara yang ragu dari manusia yang memiliki kebenaran
berbicara padaku dari masa lalu yang abadi; aku terobsesi dengan pemikiran
tersebut dikarenakan aku yang memiliki kekurangan untuk berperilaku yang sesuai
dengan kebenaran tersebut, aku mungkin saja sudah tidak pantas hidup bersama
manusia. Keyakinanku ini membuatku tidak mampu berargumen atau melakukan
pembelaan diri. Ketika ada orang yang mengkritikku aku merasa yakin kalau aku
sudah hidup dibawah kesalapahaman yang mengerikan. Aku selalu menerima serangan
dalam diam, meskipun di dalam hati aku merasa ketakutan.
Nampaknya
benar, jika tidak ada orang yang merasa senang untuk dikritik atau diteriaki,
tapi aku melihat wajah manusia yang memarahiku, seekor binatang buas dengan
aslinya, lebih buruk dari singa, buaya atau naga sekalipun. Orang-orang
biasanya menyembunyikan hal ini, tapi akan ada satu kesempatan (seperti seekor
lembu yang dengan tenang berlindung di padang rumput tiba-tiba keluar dengan
buntutnya berusaha membunuh pikat yang ada disebelahnya) ketika kemarahan
membuat mereka menunjukkannya di dalam daging manusia di dalam perasaan menakutkannya.
Melihat ini terjadi selalu memaksaku masuk kedalam sebuah rasa takut yang cukup
membuat bulu kudukku berdiri, dan dalam pikiran yang beranggapan bahwa ini
adalah salah satu dari prasyarat untuk bertahan hidup sebagai manusia, aku
sudah merasa dekat untuk membuat diriku sendiri merasa putus asa.
Aku
selalu merasa takut kepada manusia. Aku tidak bisa merasakan kepercayadirian
terhadap diriku untuk berbicara dan berperilaku seperti manusia, aku menjaga
perasaan penderitaan akan kesendirianku di dalam dada. Aku menjaga perasaan
melankolis dan pergolakanku tetap tersembunyi, berhati-hati jangan sampai setitikpun
perasaan tersebut terlihat. Aku melakoni sebuah optimisme yang terlihat murni;
perlahan aku menyempurnakan diriku sendiri di dalam lakon sebagai seorang
eksentrik yang lucu.
Aku
berpikir, “Selama aku bisa membuat mereka tertawa, tidak peduli bagaimanapun,
aku tidak apa-apa. Jika aku berhasil dalam hal itu, manusia tidak akan berpikir
panjang jika aku aku tetap berada di luar kehidupan mereka. Satu hal yang harus
kuhindari adalah menjadi pengganggu di mata mereka: aku harus tidak menjadi
siapa-siapa, menjadi angin, menjadi langit.” Aktifitasku sebagai badut, sebuah
peran yang hadir dari rasa putus asa, juga melebar hingga ke para pelayan, yang
lebih aku takuti dibanding keluargaku sendiri karena aku melihat mereka sebagai
sesuatu yang tidak mudah dipahami.
Pada
musim panas, aku membuat semua orang tertawa dengan berjalan lambat di dalam
rumah menggunakan sweater wol berwarna merah yang dilapisi kimono katunku. Bahkan
kakak laki-lakiku yang jarang tertawa, tertawa terbahak-bahak dan mengomentari
dengan nada penuh rasa kasih sayang yang tidak dapat ditoleransi, “Pakaian itu
sangat tidak cocok untukmu, Yozo.” Tapi, dari semua kebodohanku aku tidak begitu
tak sadar akan rasa dingin dan panas dengan berjalan menggunakan sweater wol di
teriknya musim panas. Aku gunakan leging panjang adik perempuanku pada
lenganku, dan membiarkannya terlihat seperti aku menggunakan sebuah sweater.
Ayahku
terkadang memiliki urusan di Tokyo dan membeli rumah di sana untuk mempermudah
urusannya. Dia habiskan waktu sekitar dua atau tiga minggu dalam sebulan di
kota, selalu pulang penuh dengan kuantitas kehadiran yang luar biasa
mengejutkan, tidak hanya bagi anggota keluarga, bahkan untuk orang-orang
terdekat. Itu seperti hobi untuknya. Sekali waktu, di malam sebelum ia
berangkat ke Tokyo, dia memanggil semua anaknya di ruang keluarga dan dengan
tersemyum bertanya pada kami hadiah apa yang kami inginkan kali ini, dengan
berhati-hati mencatat semua permintaan anaknya di dalam sebuah buku catatan
kecil. Sangat tidak biasa bagi Ayah untuk berlaku sangat penuh kasih sayang
kepada anak-anaknya.
“Bagaimana
denganmu, Yozo?” dia bertanya, tapi aku hanya tergagap tidak yakin.
Kapanpun
aku ditanya, ingin sekali aku bisa menjawab semuanya dengan cepat “Tidak ada.”
Pemikiran yang masuk melalui kepalaku bahwa itu tidak akan memberikan perubahan
apapun, bahwa tidak ada akan membuatku merasa senang. Di saat yang sama aku
yang sedari awal tidak bisa menolak penawaran apapun dari orang lain, tidak
peduli sekecil apapun aku menyukainya. Ketika aku membenci sesuatu, aku tidak
bisa mengatakan “Aku tidak menyukainya.” Ketika aku menyukai sesuatu aku
menunjukan perasaan tidak yakin, dan menutupinya layaknya memakan sesuatu yang
sangat pahit. Aku dipenuhi rasa takut yang tidak bisa dijelaskan. Dengan kata
lain, aku tidak memiliki kekuatan untuk memilih atas dua pilihan. Dengan ini,
aku percaya, karakter ini yang dalam beberapa tahun kedepan akan berkembang
menjadi sebab utama dari “kehidupan yang memalukan” ini.
Aku
tetap terdiam, bergerak-gerak kecil karena gugup. Ayahku kehilangan sedikit
rasa humornya.
“Apa
kau mau buku? Atau bagaimana dengan topeng singa tahun baru? Sekarang mereka
menjualnya untuk ukuran anak-anak. Bukankah kau mau?”
Kata-kata
keras seperti “apakah kau mau?” membuatku sulit untuk menjawabnya. Aku bahkan
tidak bisa menjawab dengan jawaban badutku. Lakon pelawakku jelas-jelas gagal.
“Sebuah
buku sepertinya pilihan terbaik, kukira,” saudaraku berkata dengan serius.
“Oh?”
Rasa bahagia mengering dari wajah ayahku. Dia menutup buku catatannya tanpa
mencatat apapun.
Dasar
pecundang. Sekarang, aku telah membuat ayahku marah dan aku yakin pembalasannya
akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Malam itu dengan diriku yang berbaring
gemetaran di atas kasur, aku mencoba berpikir bagaimana cara merubah semua
situasi itu. Aku merangkak dari kasurku, berjalan dengan perlahan melalui ruang
tamu, dan membuka laci meja dimana ayahku biasa menyimpan buku catatannya. Aku
temukan bukunya dan mengambilnya. Kubuka lembaran-lembarannya hingga sampai
pada halaman dimana ia menuliskan daftar keinginan untuk hadiahnya. Kujilati
pensil dan menuliskan dengan huruf kapital “TOPENG SINGA”. Usai melakukannya, aku
kembali ke kasurku. Aku tidak begitu ingin topeng singa. Malah, aku lebih memilih
buku untuk hadiahku. Tapi, tentu saja kalau ayahku ingin membelikanku sebuah
topeng, dan merupakan keinginan luar biasaku untuk mengabulkan keinginannya dan
mengembalikan rasa humornya yang membuatku membulatkan tekad untuk menyelinap
ke ruang tamu di tengah malam gelap.
Keputusan
yang penuh keputusasaanku ini berbuah kesuksesan besar yang kuharapkan. Ketika
beberapa hari setelahnya, ayahku kembali dari Tokyo dan mendengarnya berbicara
kepada ibuku dengan suaranya yang lantang – aku sedang berada di ruang
anak-anaknya ketika itu – “Menurutmu, apa yang kutemukan ketika aku membuka
buku catatanku di toko mainan? Lihatlah, seseorang menuliskan ‘topeng singa’ di
sini. Ini bukan tulisan tanganku. Untuk sesaat, aku tidak bisa menebak siapa
yang menulisnya, kemudian aku menyadarinya. Ini adalah salah satu dari
kejahilan Yozo. Kau tahu, aku bertanya padanya apa yang ia inginkan dari Tokyo,
tapi dia hanya terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, dengan rasa
inginnya akan topeng singa yang amat kuat membuatnya tidak tahan lagi. Dia
memang anak yang lucu. Berpura-pura tidak tahu apa yang ia inginkan dan
kemudian menuliskannya. Jika dia memang menginginkan topeng yang seharusnya ia lakukan adalah berbicara
padaku. Aku tertawa terbahak-bahak di depan semua orang yang ada di toko mainan.
Suruh dia kemari.”
Di
kesempatan lain, aku berkumpul bersama semua pelayan di sebuah ruangan yang
bergaya asing. Salah satu pelayan menekan tuts piano secara acak (rumah kami
berisi barang bagus dengan banyak fasilitas meskipun kami tinggal di desa), dan
aku membuat semua orang tertawa keras dengan jingkrak-jingkrakan tarian
Indianku bersamaan dengan suara piano itu. Saudaraku mengambil fotoku yang sedang
menari. Ketika fotonya sudah jadi kau bisa lihat kemaluanku melalui dua
saputangan yang terbuka yang kujadikan penutupnya, dan ini juga yang
menyebabkan kegembiraan. Hal ini mungkin bisa dihitung sebagai sebuah
kemenangan yang melebihi ekspektasiku.
Dahulu,
aku berlangganan selusin atau lebih majalah anak-anak, dan untuk buku bacaan
pribadiku dari Tokyo. Aku menjadi mahir dalam menggunakan karakter Dr.
Kosongomong dan Dr. Mahatahu (Bahasa
Inggris: Dr. Nonsentius dan Dr. Knowitall), dan semakin dekat dengan
kebiasaan cerita seram, kisah petualangan, kumpulan lelucon, lagu dan
sebagainya. Aku tidak pernah kehabisan materi cerita aneh yang dengan
sungguh-sungguh kurangkai untuk membuat anggota keluargaku tertawa.
Tapi
bagaimana dengan sekolahku?
Aku
baik-baik saja dalam proses mendapatkan rasa hormat. Tapi ide dari menjadi
dihormati membuatku sangat terintimidasi ketika itu. Definisiku akan orang yang
“dihormati” adalah orang yang hampir sepenuhnya sukses dalam memperdaya orang
lain, tapi yang akhirnya bisa terlihat oleh orang yang tahu segalanya, orang
yang bisa melakukan segalanya yang menggagalkannya dan membuatnya menderita
rasa malu yang lebih parah dari kematian. Meski aku merasa menipu hampir semua
umat manusia hingga bisa menghormatiku, satu dari mereka bisa mengetahui apa
yang sebenarnya, dan cepat atau lambat manusia lainnya akan belajar darinya.
Bagaimana ia marah dan dendam kepada orang-orang yang sadar kalau mereka telah
tertipu! Itu adalah perkataan yang bisa mengerutkan kening.
Aku
tidak mendapatkan reputasiku di sekolah karena aku anak dari keluarga kaya,
tapi karena caraku yang menunjukkan diriku secara vulgar, aku memiliki “otak”.
Menjadi seorang anak yang sakit-sakitan, terkadang aku tidak masuk sekolah
hingga satu atau dua bulan jika dijumlahkan dalam setahun. Meskipun begitu,
ketika aku kembali ke sekolah, masih baru saja sembuh di dalam kendaraan, dan
melakukan ujian di akhir tahun, aku selalu berada di ranking tertinggi, terima
kasih kepada “otakku”. Aku tidak pernah belajar, walaupun ketika aku sedang
sehat. Ketika kelas menulis puisi aku justru menggambar kartun dan ketika waktu
istirahat setelahnya aku membuat siswa lain di kelas tertawa dengan
penjelasanku akan gambarku. Ketika kelas musik, aku tidak menuliskan hal lain
selain cerita humor. Guruku melarang, tapi itu tidak membuatku berhenti, aku
tahu sebenarnya ia diam-diam menyukai ceritaku. Suatu hari, aku mengumpulkan
cerita yang kutulis dengan suasana sedih menceritakan ketika aku dijemput ibuku
menggunakan kereta ke Tokyo, aku sudah membuat air di dalam tempat meludah di
koridor (bahasa Inggris: I had made water
in a spittoon in the corridor). (Tapi ketika itu aku tidak begitu bodoh
menyadari kalau itu adalah tempat meludah; aku sudah merencanakan kesalahanku,
berpura-pura menjadi anak bodoh.) Aku sangat yakin kalau guru itu akan tertawa
dan aku mengikutinya yang masuk ke ruang guru. Tepat setelah ia keluar kelas,
guru itu mengeluarkan kertasku dari kumpulan tulisan kelas. Dia mulai
membacanya bersamaan dengannya yang berjalan melalui koridor, dan tertawa pelan
karenanya. Ia masuk ke ruang guru dan dalam waktu semenit atau sekitarnya – apa
dia sudah menyelesaikannya? – ia tertawa terbahak-bahak, wajahnya memerah
karena tertawaannya. Aku melihatnya memberikan kertasku kepada guru lainnya.
Aku merasa puas akan diriku sendiri.
Seorang
anak bandel yang jahil.
Aku
sudah berhasil melakukan kejahilan. Aku sudah berhasil kabur dari perasaan
dihormati. Di raporku semuanya bernilai A kecuali nilai kelakuanku, yang tidak
pernah lebih bagus dari C atau D. Hal ini juga menjadi hiburan tersendiri bagi
keluargaku.
Namun,
di dalam diriku yang sebenarnya, sangat berbeda jauh dengan peranku sebagai
anak bandel yang jahil. Ketika itu aku sudah diajarkan hal-hal yang sangat
mengecewakan oleh para pelayan; aku sudah terkotori. Sekarang, aku berpikir
kalau melakukan hal buruk seperti itu kepada anak kecil adalah kejahatan
terjelek, terburuk dan terjahat yang bisa seorang manusia bisa lakukan. Tapi
aku menahannya. Aku bahkan merasakannya sebagai hal yang bisa membuatku untuk
melihat satu aspek partikular dari manusia. Aku tersenyum dalam kelemahanku.
Jika aku sudah membentuk kebiasaan untuk mengatakan hal sejujurnya aku mungkin
saja bisa untuk menceritakannya tanpa rasa malu kepada ayahku atau ibuku mengenai
hal ini, tapi aku tidak bisa sepenuhnya mengerti meskipun mereka berdua orang
tuaku sendiri. Untuk meminta pertolongan kepada setiap umat manusia – aku bisa
tidak berharap apapun untuk tindakan itu. Mengira aku mengeluh kepada ayahku
atau ibuku, atau kepada polisi, pemerintah – aku berpikir jika pada akhirnya
aku tidak bisa berdebat dalam keheningan oleh seseorang dalam rahmat baik
dengan dunia, dengan alasan yang dunia setujui.
Itu
terlihat terlalu jelas bahwa keberpihakkan itu pasti ada: dan akan menjadi
sia-sia untuk mengeluh pada manusia. Jadi, aku tidak mengatakan apapun mengenai
kebenarannya. Aku merasa aku tidak punya pilihan lain selain menahan apapun
yang ada di depanku dan berlakon sebagai badut.
Beberapa
orang mungkin akan mencemoohku. “Apa maksudnya tidak mempercayai manusia? Kapan
kau menjadi seorang Nasrani?” Aku gagal untuk melihat bahwa ketidakpercayaan
pada manusia harus selalu mengarah pada agama. Apakah tidak benar, alih-alih, bahwa
manusia, termasuk mereka yang mencemoohku, hidup dalam rasa saling tidak
percaya, dan tidak memikirkan Tuhan ataupun yang lainnya?
Ada
satu hal yang terjadi ketika aku masih kecil. Seorang tokoh terkenal dari partai
politik dimana ayahku menjadi anggotanya datang untuk menyampaikan pidatonya di
kota kami, dan aku diantarkan pelayanku datang dan menyaksikannya. Tempat itu
penuh sesak. Semua orang di kota terutama yang dekat dengan ayahku datang dan
dengan antusias bertepuk tangan. Ketika pidato itu berakhir, orang-orang yang
hadir berjalan keluar dengan berkelompok yang berisi tiga dan lima orang dan
menuju malam. Saat mereka pulang ke rumah di jalan-jalan yang ditutupi salju mereka
dengan pedasnya mengomentari pertemuan tersebut. Aku bisa bedakan antara
orang-orang yang dekat dengan ayahku mengeluh dengan nada yang terdengar
seperti amarah mengenai bagaimana tidak kompetennya sambutan pembuka ayahku,
dan bagaimana sulitnya memahami apa yang tokoh terkenal itu sampaikan.
Kemudian, orang-orang ini kemudian datang ke rumahku, masuk ke ruang tamu kami,
dan mengatakan kepada ayahku dengan ekspresi bahagia yang terlihat alami di
wajah mereka bahwa acara tersebut merupakan acara yang sukses. Bahkan para
pelayan pun, ketika ditanya oleh ibuku mengenai acara itu, menjawab seolah-olah
dengan spontan, bahwa acara itu menarik. Mereka adalah pelayan-pelayan yang
sama dengan pelayan yang dengan pahitnya mengeluh dalam perjalanan pulangnya
dan mengatakan bahwa petemuan politik semacam itu adalah hal yang paling
membosankan di dunia.
Ini,
bagaimanapun, hanyalah contoh kecil. Aku yakin bahwa kehidupan manusia dipenuhi
dengan banyak contoh ketidaktulusan yang murni, bahagia dan tenang, betapa
hebatnya dari spesies mereka – dari menipu satu dengan lainnya (yang cukup
aneh) tanpa mengakibatkan luka, dari orang-orang yang bahkan tampaknya tidak
menyadari bahwa mereka saling menipu satu sama lain. Tapi, aku tidak punya
minat khusus akan kasus saling menipu. Aku sendiri menghabiskan waktu sepanjang
hari menipu manusia dengan leluconku. Aku tidak bisa memberikan perhatian atas
moralitas yang ditentukan dalam buku-buku pelajaran Etika dibawah nama “Kebenaran”.
Aku sulit memahami manusia yang hidup, atau yang yakin ia bisa hidup, secara murni,
bahagia dan tenang ketika terlibat dalam penipuan. Manusia tidak pernah
mengajarkanku rahasia yang sulit dimengerti seperti itu. Jika aku hanya
mengetahui satu hal bahwa saya tidak harus merasa takut kepada manusia, atau
aku tidak harus berada di posisi yang berbeda dengan kehidupan manusia, juga
merasakan siksaan seperti di neraka setiap malamnya. Singkatnya, aku percaya bahwa
alasan mengapa aku tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai kejahatan yang
menjijikkan yang dilakukan para pelayan kepadaku bukan karena
ketidakpercayaanku kepada manusia, juga bukan karena kepercayaanku kepada agama
Kristen, tapi karena manusia yang ada di sekelilingku menyegelku dengan kuat
dari dunia kepercayaan dan ketidakpercayaan. Bahkan orang tuaku pun sendiri
menunjukkan sikap yang sulit bagiku untuk memahaminya.
Aku
juga memiliki kesan bahwa banyak perempuan bisa, secara naluriah, untuk mencium
rasa kesepian ini dari diriku, yang tidak kuceritakan kepada siapapun, dan
inilah yang membuatku seringkali diperdaya di beberapa tahun kemudian.
Perempuan
melihatku sebagai seorang laki-laki yang bisa menjaga rahasia cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar