Kamis, April 28, 2016

Clueless Review: Star Wars dan Penindasan Subyektifitas Individu

Kali ini Clueless Review kembali lagi dengan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Ketika saya biasanya melakukan review untuk hal-hal yang berasal dari Jepang, (seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya) saya mereview hal-hal yang berasal dari Barat, kali ini dari sebuah judul franchise yang sudah mendunia di dalam genre film Sci-Fi, Star Wars. Tanpa panjang lebar, dimulai saja ya...



***



Star Wars, yang merupakan sebuah mahakarya industri perfilman Hollywood, merupakan sebuah tonggak awal berkembangnya genre fiksi ilmiah dalam sejarah perfilman dunia. Menceritakan tentang pertarungan abadi antara dua golongan pengguna The Force, yang merupakan medan energi yang menghubungkan semua makhuk hidup satu dengan lainnya, dengan falsafahnya masing-masing. Di dalam jalan cerita, dikisahkan Jedi, golongan pengguna Force yang lebih mementingkan harmoni dibandingkan kekuasaan, berusaha menghentikan dominasi Sith, golongan pengguna Force dengan kekuasaan sebagai prioritas utama, yang sudah mengusai seluruh jagat raya.

Dalam dunia yang dikisahkan Star Wars, masing-masing dari golongan tersebut memiliki “aturan dasar” yang menjadi pegangan atau falsafah yang dijalankannya. Meskipun Jedi digambarkan sebagai protagonis yang mengingan kedamaian diatas dominasi Sith, namun aturan dasar yang dianut Jedi mengandung kode moral yang bisa jadi menindas subyektifitas para pengikut, anggota atau kesatria Jedi itu sendiri. Dugaan yang muncul ini pun juga didukung oleh penghianatan Anakin Skywalker, seorang padawan Jedi (Jedi yang masih dalam masa pelatihan), terhadap golongannya. Karena merasa dirinya patut memperjuangkan keinginannya untuk melindungi keluarga dan orang-orang yang dicintainya, yang kemudian merubahnya menjadi Darth Vader, seorang Sith terkuat dan menjadi musuh terbesar golongan Jedi, juga menjadi tokoh utama terbentuknya Galactic Empire kerajaan yang dibentuk golongan Sith untuk menguasai jagat raya. 



Sebagai sebuah golongan yang besar dan memiliki ajarannya sendiri, Jedi memiliki sebuah pandangan dasar atau falsafah yang dijadikan dasar para kesatrianya dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Pada dasarnya, ajaran dari falsafah ini mengharuskan bagi para kesatria Jedi untuk tidak menyerahkan dirinya kepada rasa amarah terhadap makhluk hidup lainnya – dikisahkan dalam seri film ini bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berkesadaran – yang dapat menjaga mereka dari rasa takut dan “terjerumus” kedalam sisi gelap dari Force. Dengan kata lain, menjadi anggota atau kesatria Sith.

“Tidak ada emosi, hanya ada kedamaian
Tidak ada kebodohan, hanya ada pengetahuan
Tidak ada gairah, hanya ada ketenangan
Tidak ada kekacauan, hanya ada harmoni
Tidak ada kematian, hanya ada The Force”
-          The Jedi Code (Star Wars: Dark Disciple)

Jika kita melihat isi dari code tersebut, Jedi adalah kumpulan pengguna Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga dalam satu medan energi Force. Akan tetapi, dalam menjalankan ini para Jedi mengharuskan menutup diri mereka dari segala sifat-sifat kealamian manusia yang memang memiliki keenam hal yang dikatakan “tidak ada” dalam code tersebut. Dalam sejarah pemikiran yang berlangsung selama berabad-abad, banyak pemikiran yang mengatakan bahwa hal-hal yang disampaikan di atas merupakan hal yang dibutuhkan manusia agar terbebas dari segala penindasan-penindasan. Kita juga mungkin melihat bahwa tidak ada kecacatan dalam code ini untuk mewujudkan jagat raya yang damai, akan tetapi apa yang terjadi kepada Anakin Skywalker dalam kisah Star Wars ini menjadi contoh betapa ia ingin terbebas dari penindasan. Skywalker, yang merupakan seorang Padawan Jedi, merasa tertindas dengan ajaran Jedi dimana ia harus berusaha menahan emosi atau rasa cintanya terhadap Padme Amidala, yang kemudian menjadi istrinya. Berulang kali ia berusaha melindungi orang terkasihnya tersebut hingga dia menjadi Sith.

“Kedamaian adalah sebuah kebohongan, hanya ada gairah
Dengan gairah, aku meraih kekuatan
Dengan kekuatan, aku meraih kekuasaan
Dengan kekuasaan, aku meraih kemenangan
Dengan kemenangan, rantaiku (yang membelenggu) terlepas
The Force akan membebaskanku”
-          Jalan Sith (Book of Sith: Secrets from The Dark Side)

Di sisi lain, Sith memiliki falsafah yang mengajarkan bahwa Force seharusnya membuat manusa menjadi pribadi yang berkuasa atas dirinya sendiri dan menjadi bebas. Falsafah dari Sith mungkin akan terkesan arogan. Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka dari rantai yang membelenggu mereka.





Star Wars memanglah memiliki kesan bagi seluruh penggemar dan jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Seri film ini juga menjadi budaya populer yang mendunia dan menginspirasi banyak sineas perfilman di seluruh dunia untuk terus mengembangkan karyanya di genre fiksi ilmiah. Dipenuhi dengan drama dan aksi yang menakjubkan. Jika dilihat dari penjelasan yang sudah disampaikan, perjuangan yang dilakukan oleh Jedi dan Sith bukanlah perjuangan “benar” dan “salah”, melaikan perjuangan untuk dapatkan harmoni atau mendapatkan kebebasan subyektifitas.

Kemudian, menjadi menarik bagaimana seri film ini memberikan nilai pembelajaran kepada penontonnya dengan tidak memberitahukan secara jelas manakah pihak yang benar dan mana yang salah. Perspektif yang digambarkan dalam film ini hanyalah golongan Jedi sebagai protagonis dan Sith sebagai antagonis, dimana istilah protagonis dan antagonis bukanlah istilah yang juga menjelaskan baik dan buruk. Namun, jika kita berkaca dengan apa yang disampaikan pemikiran-pemikiran yang berusaha untuk membebaskan subyektifitas dari segala belenggu penindasan adalah refleksi dari Sith yang memang memanfaatkan Force sebagai medan energi yang membebaskan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar