Selasa, Maret 29, 2016

[Translate] Ningen Shikkaku - Prolog

Mungkin beberapa dari temen-temen disini sudah pernah membaca ini di akun Wattpad saya. Cuma entah kenapa saya mulai enggan untuk menulis di sana dan memutuskan untuk membawa translasi novel terkenal ini. Tanpa panjang lebar, saya akan jelaskan sedikit mengenai buku sastra klasik Jepang ini.



***



Ningen Shikkaku (dalam arti harfiah bahasa Indonesia, Manusia Gagal), sebuah novel besar karya penulis kenamaan Jepang Osamu Dazai yang menceritakan seorang lelaki yang merasa gagal menjadi manusia dan menganggap hidupnya adalah sesuatu rasa malu yang besar, bernama Yozo Oba. Buku ini menjelaskan bagaimana ia bisa menganggap dirinya adalah sebuah kegagalan besar dengan segala kesuraman penjelasan cerita khas Osamu Dazai. Novel ini sendiri merupakan salah satu karya literatur Jepang yang berpengaruh dalam pergerakan sastra Jepang secara keseluruhan dan sudah berulang-ulang kali dicetak ulang di Jepang dengan peminatnya yang secara mengejutkan merupakan remaja dan kalangan muda.

Saya kemudian tertarik membaca dan menerjemahkan novel ini karena seringkali saya lihat dan saksikan bagaimana karya Dazai memiliki pengaruh yang amat sangat besar dalam budaya pop Jepang saat ini. Tidak jarang dalam karya-karya populer Jepang saat ini, yang tidak hanya menceritakan kebahagiaan hidup namun juga menceritakan betapa sulit dan suramnya hal yang harus kita alami dalam hidup, mereferensi karya-karya atau kata-kata Dazai. Seperti "My Teen Romatic Comedy SNAFU" sebuah Novel Ringan yang diangkat menjadi manga dan anime karya Wataru Watari, dan "Date ~Koi to wa Donna Mono Kashira~" sebuah drama yang memenangkan penghargaan drama Television Drama Academy Awards Jepang pada musim semi 2015, dimana tokoh Hachiman Hikigaya dan Takumi Taniguchi sedikit banyak merefleksikan tokoh Yozo Oba dalam novel ini, dan tidak jarang nama Dazai disebut dalam dua hasil budaya pop tersebut.

Pada akhirnya, semoga hasil terjemahan ini bisa memuaskan hasrat membaca teman-teman semua yang menggiati karya literatur atau pop Jepang, maupun yang asing dengannya sama sekali.

***

Prolog

Aku melihat tiga gambar dari seorang lelaki.

Gambar pertama, sebuah foto masa kanak-kanak mungkin kau bisa menyebutnya, memperlihatkan lelaki tersebut ketika ia berusia 10 tahun, seorang anak laki-laki dikelilingi wanita-wanita dewasa (saudari-saudarinya, tidak salah lagi). Dia berdiri dengan celana panjang yang berkilau diujung kolam taman. Kepalanya terarah dalam sudut 30 derajat ke kiri, dan giginya terlihat dalam sebuah senyum yang buruk. Buruk? Anda juga mungkin mempertanyakan kata tersebut, untuk orang-orang yang tidak sensitif (yang mengatakan, bahwa tidak ada perbedaan diantara keindahan dan kejelekkan) akan secara otomatis berkomentar dengan ekspresi yang tidak kuat dan bodoh, “Tampannya anak kecil ini!” Memang agak benar bahwa apa yang secara umum melampaui “ketampanan” adalah sesuatu yang ada pada wajah anak ini untuk memberikan arti yang kecil kepada sanjungan tersebut. Tapi, kupikir ketika orang dengan pengetahuan keindahan yang mapan akan mengatakan, dengan gestur seperti seseorang yang baru saja menyingkirkan serangga dari pundaknya, “Betapa mengerikannya anak ini!”
Tentu saja, semakin kau mengamati senyum dari anak ini semakin sulit kau menggambarkannya. Ketakutan yang tidak terjelaskan akan menghantuimu. Kau akan melihat bahwa itu bukanlah senyum sama sekali. Anak ini tidak berniat untuk menunjukkan sebuah senyuman. Lihatlah kepalan tangan yang sangat kuat itu jika kau inginkan bukti. Tidak ada manusia yang bisa tersenyum dengan mengepalkan tangannya erat. Ia adalah seekor kera. Seekor kera yang sedang meringis. Senyum itu tidak lebih dari sebuah  kerutan dari keburukan. Foto itu menghasilkan sebuah ekspresi kegilaan, dan dengan saat bersamaan tidak begitu terjelaskan dan bahkan bisa membuatmu muak, sehingga membuatmu mengatakan “Betapa jelek dan tersembunyinya anak ini!”. Aku tidak pernah melihat seorang anak kecil dengan ekspresi yang tidak jelas seperti ini.
            Wajah yang tergambar di foto kedua mungkin di awal akan terasa berbeda dengan yang pertama. Di foto ini dia sudah menjadi seorang siswa, meskipun tidak tergambar jelas apakah ketika ia siswa SMA atau mahasiswa. Selain itu, dia sekarang menjadi lelaki yang luar biasa tampan. Tapi, pada gambar ini pula wajahnya kembali gagal menggambarkan ekspresi yang dimiliki seorang manusia. Ia mengenakan seragam siswa dengan saputangan putih yang mengintip dari kantung bajunya. Dia duduk di atas sebuah kursi rotan dengan kakinya yang menyilang. Lagi-lagi ia tersenyum, tapi kali ini bukan senyum kera keriput yang meringis namun senyum kecil seorang yang cerdik. Dan entah mengapa senyum ini masih terlihat sebagai sebuah senyuman yang hadir dari seorang manusia: senyum itu sama sekali kehilangan substansi dari apa yang kita sebut sebagai “berat dari darah” atau mungkin “kesolidan dari hidup manusia” – senyum itu bahkan tidak memiliki berat dari seekor burung. Itu hanya sebuah kertas kosong, seenteng bulu, dan tersenyum. Foto ini menggambarkan, secara singkat, apa yang disebut sensasi dari kepalsuan. Tuntutan, ketidaktulusan, kebodohan – tidak ada satupun dari kata-kata ini yang dapat menjelaskannya. Dan tentu saja kau tidak bisa menyebutnya sebagai persolekan. Faktanya, jika kau melihatnya secara seksama kau akan mulai merasakan ada sesuatu yang secara aneh tidak mengenakkan mengenai lelaki muda yang tampan ini. Aku tidak pernah melihat seorang pemuda yang tampan begitu mengherankan seperti ini.
            Foto terakhir adalah yang paling menakutkan dari semuanya. Sangat sulit untuk mengira berapa usianya dalam foto ini, meskipun rambutnya sudah terlihat memutih. Foto ini diambil dari sebuah ruangan yang luar biasa kotornya (kau bisa dengan mudahnya melihat dari tembonknya yang runtuh di tiga tempat). Tangannya berada di depan. Kali ini dia tidak tersenyum. Tidak ada ekspresi apapun. Foto ini jelas sekali membuat merinding, sebuah kualitas akan ketakutan, dimana foto ini memperlihatkan ia yang sekarat ketika ia duduk di depan kamera, tangannya berada diatas sebuah penghangat. Itu bukan satu-satunya hal yang mengejutkan dari foto itu. Kepalanya terlihat cukup besar, dan kau bisa memperhatikannya dengan jelas: keningnya yang besar, bintik-bintik yang ada diatasnya, alisnya yang juga besar, matanya, hidungnya, mulutnya, dan dagunya... wajahnya tidak sama sekali tanpa ekspresi, wajah itu bahkan gagal untuk menciptakan ingatan. Dia tidak miliki individualitas. Aku hanya cukup menutup matakun untuk melupakan wajahnya. Aku hanya bisa ingat temboknya, penghangat kecil, tapi semua ekspresi yang ada di wajah yang seharusnya menjadi figur utama menghilang; aku tidak dapat mengingat kembali satupun tentangnya. Wajah ini tidak akan bisa menjadi gambaran dari lukisan, bahkan komik sekalipun. Kubuka mataku. Aku bahkan tidak memiliki keinginan untuk mengingatnya lagi: tentu saja, itulah tipe wajah yang kumaksud! Untuk mengatakannya dalam perkataan yang lebih gamblang: ketika aku membuka mataku dan melihat foto itu untuk kedua kalinya, tetap saja aku tidak mengingatnya. Di samping itu, foto itu justru memberikanku kesan yang salah dan membuatku merasa tidak nyaman, lalu akhirnya membuatku ingin mengalihkan pandanganku.
            Kupikir, mungkin sebuah topeng kematian miliki ekspresi yang lebih, dan menciptakan ingatan yang lebih membekas. Sebuah patung yang tidak lebih dari tubuh manusia dengan kepala kuda yang ada diatasnya. Sesuatu yang tidak tergambarkan membuat orang yang melihatnya merasa ngeri dengan kehampaannya. Aku tidak pernah melihat wajah lelaki yang begitu tidak terstruktur.

***

Kedepannya mungkin saya akan lebih berfokus pada translasi novel atau light novel. Saya akan memfokuskan di Ningen Shikkaku ini dan sebuah light novel Korea yang berjudul The Indecent Relationship Between Four Lovers (나와 그녀와 그녀와 그녀의 건전하지 못한 관계). Semoga bisa terlaksana ya. 

4 komentar:

  1. Aku penggila berat sama karya sastra satu ini xD

    BalasHapus
  2. Mohon maaf saya ingin bertanya, apa Anda menerjemahkan langsung dari bahasa Jepang ke Indonesia? Jika iya, saya ingin ijin untuk menelitinya dalam penelitian penerjemahan saya

    BalasHapus